Penurunan jumlah kelas menengah Indonesia dari 57,3 juta (2019) menjadi 47,85 juta orang (2024) berdampak langsung pada pola konsumsi nasional dan kinerja industri ritel. Daya beli masyarakat menurun, mendorong pergeseran ke produk value for money, merek lokal, dan kanal belanja digital.
Kelas Menengah dan Konsumsi Nasional: Sebuah Hubungan Erat
Kelas menengah merupakan penggerak utama ekonomi Indonesia. Mereka berkontribusi terhadap lebih dari 60% total konsumsi rumah tangga nasional, yang menjadi pendorong utama pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, sejak pandemi COVID-19 dan kenaikan inflasi pada 2023–2024, perilaku konsumsi kelompok ini berubah drastis. Berdasarkan laporan BPS dan Katadata (2024), jumlah kelas menengah turun sekitar 9,48 juta orang dalam lima tahun terakhir.
Penurunan ini memengaruhi komposisi pengeluaran, preferensi merek, hingga strategi pemasaran pelaku industri ritel.
Pergeseran Pola Konsumsi: Dari Gaya Hidup Aspiratif ke Efisiensi Realistis
Jika pada 2015–2019 konsumen kelas menengah cenderung aspiratif—meningkatkan kualitas hidup melalui konsumsi gaya hidup (travel, F&B premium, gadget, dan fashion)—maka sejak 2020 tren ini berbalik arah.
Menurut survei Euromonitor 2024, 7 dari 10 konsumen urban kini mengadopsi perilaku “smart spender”.
Mereka tidak berhenti berbelanja, tetapi lebih selektif dan rasional dalam menentukan prioritas.
Ciri-ciri perubahan konsumsi kelas menengah saat ini:
-
Beralih dari produk branded premium ke value brand lokal.
-
Lebih banyak berbelanja di ritel modern diskon dan e-commerce dengan cashback.
-
Mengurangi pembelian barang tahan lama (durable goods) seperti elektronik besar.
-
Menunda gaya hidup leisure seperti wisata luar negeri dan makan di restoran mahal.
Fenomena ini menunjukkan redefinisi aspirasi kelas menengah: dari “naik kelas sosial” menjadi “bertahan dengan cerdas”.
Industri Ritel dan F&B: Menyesuaikan dengan Kenyataan Baru
1. Ritel Modern dan Minimarket
Data NielsenIQ (2024) menunjukkan bahwa penjualan di ritel modern premium (seperti department store dan hypermarket) turun hingga 8–10% year-on-year, sedangkan minimarket dan toko value chain tumbuh 12%.
Pertumbuhan ini dipicu oleh dua hal:
-
Konsumen menekan pengeluaran tetapi tetap membutuhkan akses cepat ke kebutuhan pokok.
-
Munculnya promosi masif dan program loyalitas yang menarik kelas menengah bawah.
Ritel yang beradaptasi dengan strategi “everyday low price” dan private label berhasil mempertahankan volume penjualan.
2. Sektor F&B dan Produk Konsumsi
Konsumen middle-down lebih banyak memilih:
-
Produk lokal dengan harga kompetitif,
-
Kemasan ekonomis, dan
-
Produk multifungsi (contoh: kopi sachet premium, makanan siap saji sehat).
Brand besar kini memperluas portofolio sub-brand ekonomis untuk menjangkau segmen ini. Misalnya, produk FMCG yang sebelumnya bermain di premium segment kini meluncurkan versi lebih terjangkau dengan positioning affordable indulgence.
Digitalisasi Belanja: Dari Lifestyle ke Survival Tool
Selama pandemi, e-commerce menjadi alternatif utama konsumsi. Namun kini, platform digital berkembang menjadi mekanisme penghematan.
Survei IPSOS 2024 menunjukkan bahwa 63% konsumen kelas menengah mencari promosi digital (voucher, cashback, flash sale) sebelum melakukan pembelian.
Hal ini melahirkan generasi konsumen baru: “digital value seeker” — kelas menengah yang mengandalkan algoritma dan promo untuk efisiensi finansial.
Bagi perusahaan ritel, ini berarti strategi pricing dan promosi berbasis data menjadi kunci mempertahankan loyalitas pelanggan.
Implikasi untuk Market Research dan Brand Strategy
Perubahan struktur kelas menengah membawa implikasi besar bagi dunia Market Research.
Bagi Sigma Research, fenomena ini adalah peluang untuk:
-
Memetakan ulang segmentasi konsumen berdasarkan daya beli, bukan hanya demografi.
-
Menganalisis shifting behavior antara middle class dan emerging class secara longitudinal.
-
Menguji konsep produk dan komunikasi yang lebih relevan dengan kondisi sosial ekonomi saat ini.
Riset perilaku dan brand tracking dapat membantu klien memahami:
-
Apakah loyalitas merek masih bertahan di tengah tekanan ekonomi,
-
Segmen mana yang paling sensitif terhadap harga, dan
-
Bagaimana pesan komunikasi harus disesuaikan agar tetap relevan.
Jangka Panjang: Transformasi, Bukan Sekadar Penurunan
Meski tampak negatif, penurunan kelas menengah juga membawa momentum transformasi ekonomi.
Konsumen lebih sadar akan nilai, keberlanjutan, dan efisiensi, mendorong industri berinovasi pada:
-
Model bisnis berbasis digital dan langganan,
-
Produk berkelanjutan dan ekonomis, serta
-
Pendekatan riset yang lebih prediktif dan real-time.
Kelas menengah Indonesia mungkin menyusut, tetapi kualitas kesadaran konsumtifnya meningkat. Di sinilah peluang bagi pelaku riset dan bisnis untuk memahami perubahan secara mendalam—bukan hanya dari angka, tetapi dari makna perilaku di baliknya.
Ingin memahami lebih dalam perubahan perilaku dan penurunan kelas menengah Indonesia dan dampaknya bagi bisnis Anda?
Hubungi tim riset Sigma Research Indonesia untuk mendapatkan insight berbasis data yang relevan dengan strategi Anda.


