Penurunan jumlah kelas menengah Indonesia dari 57,3 juta menjadi 47,85 juta orang (2019–2024) bukan hanya persoalan statistik ekonomi tapi juga perihal strategi ekonomi inklusif. Ia mengguncang struktur konsumsi nasional dan menantang pelaku usaha serta pemerintah untuk menata ulang strategi pembangunan dan pertumbuhan pasar.
Namun, apakah tren ini hanya membawa tantangan — atau justru membuka peluang baru untuk transformasi ekonomi yang lebih inklusif?
1. Strategi Pemerintah: Menjaga Daya Beli dan Meningkatkan Lapangan Kerja
Pemerintah Indonesia menghadapi dilema klasik: menjaga daya beli sambil menyeimbangkan anggaran.
Beberapa langkah yang telah ditempuh antara lain:
-
Subsidi energi terarah dan bantuan sosial adaptif, yang kini berbasis data terpadu (DTKS).
-
Insentif fiskal bagi UMKM dan sektor padat karya untuk menstabilkan lapangan kerja.
-
Program hilirisasi industri untuk menciptakan lapangan kerja baru di luar sektor konsumsi.
Namun, efektivitasnya masih bergantung pada distribusi kebijakan yang tepat sasaran. Sigma Research mencatat bahwa 67% konsumen urban menilai kebijakan ekonomi 2024 “kurang berdampak langsung” terhadap kesejahteraan mereka.
“Kebijakan makro akan efektif hanya bila ditransformasikan menjadi manfaat mikro di tingkat rumah tangga,” — Sigma Research Policy Insight 2025.
2. Strategi Pelaku Usaha: Adaptasi terhadap “Kelas Menengah Baru”
Sementara itu, dunia bisnis mulai menyesuaikan strategi menghadapi konsumen yang lebih rasional dan value-oriented.
Beberapa adaptasi yang muncul di lapangan meliputi:
-
Segmentasi ulang pasar, memfokuskan produk pada affordability dan relevance.
-
Inovasi produk lokal dengan value-for-money tinggi.
-
Digital engagement untuk membangun loyalitas tanpa menaikkan harga.
Misalnya, merek-merek FMCG kini banyak meluncurkan kemasan hemat dan produk multifungsi, sedangkan ritel modern memperluas segmen private label untuk mempertahankan margin.
3. Peran Riset Pasar: Mengubah Data Menjadi Strategi
Dalam lanskap yang berubah cepat, riset pasar bukan lagi fungsi pendukung — melainkan alat navigasi utama.
Riset yang komprehensif membantu pemerintah dan pelaku usaha:
-
Mengidentifikasi perubahan perilaku dan prioritas konsumen,
-
Menilai efektivitas kebijakan ekonomi terhadap daya beli,
-
Merancang produk dan komunikasi yang relevan dengan kelas menengah baru.
Sigma Research Indonesia mengembangkan pendekatan berbasis Consumer Resilience Index (CRI) yang memetakan tingkat ketahanan keuangan rumah tangga, sebagai indikator awal perubahan daya beli dan motivasi konsumsi.
4. Dari Tantangan Menjadi Peluang
Jika dikelola dengan cerdas, penurunan kelas menengah dapat menjadi momentum untuk reorientasi ekonomi ke arah yang lebih tangguh dan inklusif.
-
Bagi pemerintah, ini peluang memperkuat fondasi produktif dan efisiensi sosial.
-
Bagi pelaku usaha, ini kesempatan memahami kembali konsumen inti yang sesungguhnya.
-
Bagi dunia riset, ini momentum memperdalam insight sosial-ekonomi berbasis data real-time.
Penurunan daya beli bisa dipulihkan, tetapi hanya dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana masyarakat beradaptasi. Itulah peran riset pasar yang sesungguhnya.
Ringkasan
Kelas menengah adalah barometer keseimbangan ekonomi Indonesia. Penurunannya bukan sekadar krisis konsumsi, tetapi sinyal perlunya strategi baru antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga riset untuk membangun kembali kepercayaan, relevansi, dan stabilitas ekonomi nasional.
Dengan kolaborasi berbasis data, tantangan ini bisa berubah menjadi peluang menuju ekonomi yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
Ingin memahami dampak strategi ekonomi inklusif terhadap pasar Anda?
Diskusikan dengan Sigma Research Indonesia untuk riset dan analisis berbasis data yang membantu bisnis beradaptasi secara cerdas.
