Bagaimana hype bisa menjadi autentik dan berkelanjutan?
Artikel Vogue Business (2025) berjudul “Inside Beauty’s Digital Hype Chase” menyoroti tren baru di industri kecantikan. Brand tidak lagi sekadar mengandalkan influencer besar dengan kampanye masif. Konsumen kini lebih percaya pada konten yang terasa nyata: rekomendasi dari teman, keluarga, atau kreator kecil yang relatable. Hype yang lahir dari komunitas atau autentik dan momen budaya terbukti lebih bertahan lama dibanding hype buatan sebagai strategi brand.
Contoh nyata dapat dilihat pada peluncuran R.e.m Beauty yang memanfaatkan momen budaya dari film Wicked. Kolaborasi ini berhasil karena hype tidak hanya dibangun oleh promosi, tetapi juga melekat pada narasi budaya yang sedang populer.
Di Indonesia, konteks ini sangat relevan. Hype sering kali muncul dari momen lokal—mulai dari perilisan film nasional, konser musik internasional, hingga kampanye e-commerce saat Ramadan dan akhir tahun. Namun, hype yang sekadar mengandalkan diskon atau gimmick cepat hilang. Sebaliknya, autentik hype—misalnya kolaborasi brand fashion lokal dengan komunitas streetwear, atau brand kopi yang bekerja sama dengan seniman lokal—cenderung lebih tahan lama.
Hype analysis membantu brand menemukan titik autentisitas ini. Dengan menganalisis data komunitas, AI dapat mengidentifikasi narasi budaya mana yang paling resonan. Di sisi lain, social listening tetap berfungsi sebagai “early warning system” untuk mendeteksi jika hype berpotensi berubah menjadi backlash atau celah kegagalan.
Menghubungkan dengan Indonesia
-
Kekuatan komunitas: Fandom K-pop, eSports, dan komunitas lokal seperti pecinta kopi atau otomotif dapat menjadi sumber insight berharga.
-
Bahasa & budaya: Konsumen Indonesia sering menggunakan bahasa campuran dan slang digital, yang menuntut AI/NLP mampu memahami konteks lokal.
-
Ekspektasi konsumen: Hype yang tidak realistis dapat menimbulkan kekecewaan massal. Dengan hype analysis, brand bisa melakukan “cek suhu” emosi publik sebelum meluncurkan kampanye besar.
Kesimpulannya, sebagaimana disarankan Quirk’s (2024), hype analysis tidak hanya soal memahami data, tetapi juga emosi. Ditambah dengan insight dari Vogue Business (2025), kita bisa belajar bahwa hype yang autentik dan berakar pada budaya lokal akan memberi nilai lebih besar bagi brand di Indonesia.
Dengan memadukan social listening, hype analysis, dan narasi budaya, brand bisa mengubah hype dari sekadar “keramaian sesaat” menjadi strategi jangka panjang yang memperkuat hubungan dengan konsumen. Sehingga tercipta sebuat hype yang autentik khusus strategi brand yang sedang dikembangkan.
Untuk mengembangkan startegi brand agar mendapat hype yang autentik, hubungi Admin SRI melalui Whatsapp atau email di info@sigmaresearch.co.id. Kunjungi juga halaman solusi-solusi Sigma untuk tahu lebih dalam tentang riset dan survey penunjang strategi bisnis Anda.